Endang Supriyati, IRotizen Kota Pekalongan
Mengenang perjalanan mudik selalu membahagiakan,mudik hanya ada diwilayah negara Republik Indonesia. Alangkah bahagianya umat Muslim dinegeri ini disetiap bulan Ramadan tiba. Hampir semua warga perantau mengangankan untuk dapat mudik kekampung halaman setiap hari Raya tiba. Demikian pula dengan keluarga kami, setiap Hari Raya Idul Fitri, berusaha meluangkan waktu untuk dapat mudik kekampung halaman. Dengan jarak tempuh lebih dari 200 km, disatu tujuan jelas berbiaya mahal. Tetapi even ini selalu ditunggu-tunggu hampir semua warga yang bertinggal jauh dari orangtua ataupun keluarga, kesempatan mudik kekampung halaman adalah sesuatu banget.
Ganjil genap ternyata cukup merepotkan pengguna jalan Toll, tetapi sekaligus menostalgia jalan kenangan. Setiap kali pulang kampung kami melewat Toll Pekalongan _ Semarang, kemudian keluar di Exit Toll Bawen dapat ditempuh sekitar 1.5 jam. Kemudian melambung melewati jalan lingkar Salatiga menuju kearah Kopeng. Dari Kopeng menuju Magelang jika lancar dapat ditempuh 1 jam perjalanan. Jarak tempuh Pekalongan kedesa Blondo di Kab. Magelang sekitar 170 km.
Karena terkendala aturan ganjil genap, maka kami melewati jalan alternatip Pekalongan menuju Magelang via Weleri, Sukorejo dengan jarak tempuh lebih pendek, hanya sekitar 135 km. Karena bukan melewat jalan Toll, jarak sejauh 135 km, kami tempuh selama 5 jam perjalanan. Seperti ngendikan Prof. Imam Robandi melewati dataran tinggi itu sesuatu banget, dengan kontur jalan yang naik turun berkelok sempit. Tetapi bonus pemandangan hijau yang menyegarkan, sehingga laju mobil tidak secepat dijalan Toll, karena saat melewat ketinggian kami berusaha untuk dapat mengambil gambar-gambar yang indah.
Pada saat kami mudik itu tanggal 8 April 2024, sementara plat no mobil angkanya ganjil, awal kami mau nekad masuk Toll, tetapi anak saya mengatakan kita taat azas sajalah, malu nanti kalau beda sendiri. Ternyata hampir semua plat no luar kota mengambil jalur yang sama, melewat Weleri, Sukorejo Ngadirejo, Parakan, Temanggung sampailah di Magelang. Kemudian melanjutka kearah Yogya dan entah kemana lagi tujuannya. Diiringi mendung dan rintik gerimis, sesekali terdengar suara petir, kami seakan berkonvoi tanpa rencana. Pengguna jalan cukup ramai sehingga laju mobil menjadi melambat. Hampir semua mas driver menahan diri untuk berjalan melambat.
Dengantujuan dan targed yang berbeda sesama driver harus saling berempati, serta sedikit uji nyali kesabaran juga. Semua pengguna jalan ingin segera sampai ditempat tujuan masing-masing, tetapi semua juga ingin sehat, selamat sampai tempat yang dituju. Sepanjang apapun antrian yang ada semua pengguna jalan berusaha sabar, walaupun kadang ada satu dua pengguna jalan yang tidak peduli dengan orang lain. Berkali kali suami mengatakan dijalan raya itu kita golek slamet ora golek bener. Golek bener durung mesti slamet
Jelang waktu berbuka puasa sampailah kami ditempat tujuan desa Blondo Pinggir Kali Elo. Rasa cape selama dalam perjalananhilang musnah, mendapat senyuman saudara anak cucu, adik-adik serta keponakan. Lima kemudian masuk waktu buka puasa, cuci tangan, kemudian menikmati menu buka puasa ala orang desa dengan jajanan jadul yang ngangeni. Berbuka dengan nasi bancakan, nasi urapan sayur yang dilengkapi telur rebus yang dipotong menjadi delapan mengenang saat kami masih kecil dulu, itulah menu luar biasa yang selalu ditunggu. Saling berbagi cerita, yang tua-tua ngumpul, anak -anak ngobrol , cucu yang masih berusia lima bulan tidur nyenyak tak terusik.
Keesokan harinya kami semua mempersiapkan hidangan lebaran berupa, kupat, opor khas hidangan lebaran. Dilengkapi dengan sambal goreng kreni serta tidak ketinggalan kerupuk udang. Karena ada tamu dari Padang, maka adik juga menyiapkan hidangan rendang ala-ala Padang. Konon kata Lova itu menu khas dihari raya, yang dilengkapi dengan sambal ijo serta daun singkong rebus. Semua terasa damai indah dan menyenangkan.
Malam hari takbir menggema pertanda puasa telah berakhir, esok hari adalah tanggal 1 Syawal, Hari Raya Idul Fitri. Keramaian didesa masih sangat terasa, takbir keliling sebagai tradisi berjalan seperti biasa. Perbedaannya takbir keliling dilaksanakan secara kekinian. Sewaktu kecil, saat masih berusia 7-8 tahun, ketika ingin mengikuti Takbir keliling maka kami harus mempersiapkan obor blarak sebagai alat penerangan. Sementara saat ini penerangan yang anak-anak bawa adalah lampion dengan tema film kartun.
Tidak ketinggalan untuk masing-masing RT mempersiapkan berbagai komoditas, seperti Perahu Pinisi yang nampak indah meriah karena dilengkapi dengan lampu berwarna warni. Ada juga miniatur Ka’bah, Unta yang diusung beramai-ramai dengan kostum yang sesuai asalnya. Tidak kalah meriahnya bising suara petasan yang dinyalakan menggunakan ruas bambu, didesa kami disebut dengan Long Bumbung .
Berhari Raya didesa terasa lebih damai, warga desa berbondong-bondong menuju Lapangan Adi Raga desa Blondo, ada juga sebagian warga yang menuju ke Masjid, ketika berpapasan kita saling sapa. Seliwar seliwer kendaraan hanya ada dijalan Raya, secara kebetulan Lapangan Adi Raga Blondo ada dipinggir jalan Raya, tetapi tidak terlalu dekat, butuh waktu paling tidak 2-3 menit untuk sampai kepinggi jalan Yogya-Magelang. Selesei sholat kami abadikan momen yang indah ditengah lapangan Adi Raga Blondo.
Mantap sekali bu Endang, mudik memang selalu menjadi cerita mengesankan
cerita seru yang setiap tahun menjadi ngangenin dan minta diulang terus. hahaha
Selamat bernostalgia Bunda
Keren sekali.
Masya Allah bahagia membaca cerita mudik Ibu sekeluarga. Terima kasih ceritanya Bu