Endang Supriyati
Santri IRo kota Pekalongan.

Conservation Response Unit ( CRU) Tangkahan, berlokasi didesa Namo Sialang, Kecamatan Batang Serangan, Kabupaten Langkat Sumatera Utara, dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser ( TNGL). Merupakan destinasi wisata yang sangat indah, dengan keindahan alam hutan tropis. Terkenal dengan julukan “The Hidden Paradise”.
Hari Ahad, 27 Februari 2022 kami berkesempatan berkunjung ke kawasan Ekowisata Tangkahan. Jarak yang harus kami tempuh dari Medan sekitar 124 km. Akses toll hanya sampai Stabat, sekitar 60 km an, merupakan akses toll yang baru diresmikan oleh Presiden sehingga masih gratis. Masuk pintu toll Amplas di Medan, keluar di Stabat tarif yang kami bayar hanya Rp 17.000,- artinya kami hanya membayar tarif Medan – Binjai saja. Kemudian Binjai – Stabat masih gratis.

Kami berangkat dari Medan sudah pukul 10.00, berharap dapat menyaksikan kawanan gajah mandi pada sore hari sekitar pukul 16.00. Sedikit informasi yang kami menahu bahwa kawanan gajah dimandikan dua kali sehari pada pukul 09.00 dan pukul 16.00. Sekitar pukul 10.30 kami sudah keluar exit toll Stabat. Kemudian kami berburu kuliner untuk makan siang lebih dahulu. Karena setelah lewat Stabat, susah untuk mencari warung makan karena tidak hapal serta belum menahu detail lokasi daerah yang akan dituju.
Dari Stabat melaju kearah Tanjungpura untuk makan siang Soto Udang, merupakan kuliner khas Tanjungpura yang mbak Rizky ketahui. Untuk kuliner yang lain tidak yakin. Selesei makan siang kami melanjutkan perjalanan menuju Tangkahan. Kami kembali kearah Stabat, karena ternyata arah ke Tangkahan berada dipertengahan Stabat dan Tanjungpura.

Dari Tanjungpura mengambil jalan pintas rute terpendek menurut mbah google map. Ternyata masuk perkampungan dengan kondisi jalan yang alaaa mak. Berlobang dan banyak yang rusak. Serta jalan tidak begitu lebar, apabila berpapasan harus ada yang mau berhenti. Lepas dari perkampungan masuk jalan perkebunan, disini lebih parah lagi. Jalan sempit, berkelok, berlubang dan rusak. Sehingga mobil akan bergoyang, untuk dapat memilih jalan yg lebih rata.
Dalam perkebunan kendaraan yang lewat sebagian besar adalah truk-truk pengangkut sawit. Truknya besar sehingga jika berpapasan lebih baik berhenti, itupun tetep saja mobil kami tergores ban truk. Berapa jauh jalan dalam perkebunan yang harus kami lewati kami tidak menahu. Terasa dinegeri antah berantah karena yang kami jumpai hanya pohon sawit dikanan kiri jalan. Perjalanan menjadi semakin lambat karena jalan rusak lumayan parah. Kalau truk -truk mungkin tidak terasa, hanya terlihat saja truk goyang kekanan dan kekiri. Juga melewati pasar dengan pedagang yang menggelar dagangannya di bahu jalan.
Akhirnya sampailah kami disimpang antara Stabat dan Tanjungpura, menuju kawasan Tangkahan, jalan raya cukup lebar. Sebagian bagus tetapi sebagian yang lain rusak. Sedikit bernafas lega, tetapi ternyata masih jauh lokasi tujuan kami. Banyak jembatan kecil kami lewati, kalau dikampung di Jawa biasa dikenal dengan buk, yaitu jembatan antar kampung. Disini sama kami melewati jembatan kecil yang meragukan, jembatan melengkung seakan mau patah. Lengkungan itu sangat nyata dan terasa saat melewati, sehingga sempat ada rasa ragu, kalau kami salah jalan.
Lepas dari jembatan kecil melengkung terbaca tulisan “Perkebunan Kuala Sawit“. Masuk perkebunan lagi, sudah terbayang jalan yang harus kami lewati. Semakin masuk kedalam perkebunan, ketemu jalan dipinggir sungai, sebagian longsor. Andrenalin mulai terpacu hanya berbekal google map, tanpa petunjuk arah lokasi. Berkendara dalam perkebunan hampir tidak pernah berpapasan dengan kendaraan lain. Jika ada kereta mereka kencang serta tidak ada penduduk yang dapat ditanya. Yang ada hanya lembu – lembu yang merumput dalam perkebunan seakan diliarkan. Ternyata memang diliarkan lembu-lembu itu merumput sendiri.
Semakin kedalam kebun sawit semakin rimbun, sehingga semakin gelap terasa. Semakin sepi terasa sendiri hanya ada lembu yang kadang santai ditengah jalan. Tanpa pernah takut akan kendaraan yang lewat. Justru kita yang takut, karena jika menyenggol lembu urusannnya akan ppanjang. Jalan semakin rusak parah, tidak satupun berpapasan dengan kendaraan lain. Ragu ada tetapi juga tertantang untuk dapat sampai desa Namo Sialang, kawasan Ekowisata Tangkahan.
Kembali melihat Map ternyata 15 km lagi jarak yang harus kami tempuh. Alaaa maak, jauh amat. Setelah berputar putar mengikuti jalan perkebunan ada hal unik kami dapat. Arah panah dengan petunjuk ” jangan ikuti google map, ambil arah sebaliknya ” Haa, apalagi ini. Kita ikuti ambil arah sebaliknya semakin gelap karena pohon sawit semakin rimbun. Kemudian terbaca lagi tulisan ” jalan rusak “. Haduuh kemana lagi kami harus lewat, karena tulisan itu di perempatan. Di sela rimbunnya kebun sawit terlihat mobil dikejauhan, kami berpikir itu mungkin pengunjung menuju CRU Tangkahan juga.
Akhirnya sekitar pukul 14.30 kami sampai didesa Namo Sialang, kawasan Ekowisata Tangkahan. Ternyata sudah banyak pengunjung yang datang, terbukti dengan banyak nya mobil parkir. Dipintu masuk kawasan sudah ada petugas pengutip tiket pengunjung dan parkir. Dengan tiket seharga Rp 55.000,- untuk bertiga. Ditempat parkir kemudian kami didatangi tur guide lokal, yang menawarkan bantuan .
Part 1, selesei disini dulu.
Tunggu petualangan selanjutnya.
S3nangnya Tadabur Alam, begiru indahnya. Terimakasih bu Endang sudah berbagi cerita, kapan ke Yogya juga banyak Distinasi/obyek wisata yang baru.
Part 2 ditunggu lho… pasti lebih seru dan gokil 🤣
Siap. Dalam proses.
Mantaap mi,walaupun hanya membaca tapi seakan mengikuti perjalanannya…sayang nun jauh disana..tapi kereen…
Terima kasih sudah mampir.
Sangat menantang sangat riskan di negeri sendiri seperti di negara antah berantah Google maps bikin ragu tapi tetep nekat, emang emak emak pemberani, tapi begitu sampai lokasi terbayar kah perjalanan yang panjang itu dengan melihat kawasan tersebut……
Part 2 nya di tunggu 😘
Sangat. Tunggu petualangan selanjutnya